Showing posts with label Sengketa. Show all posts
Showing posts with label Sengketa. Show all posts



Sengketa Indonesia Malaysia


Malaysia kembali mengganggu wilayah kesatuan Indonesia dengan mencaplok Camar Bulan, daerah di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Malaysia, Senin (10/10/2011).

Hal tersebut membuat heran Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar Nahdattul Ulama (PBNU), Said Aqil setelah menghadiri halal bihalal dan rapim muslimat NU di Hotel Grand Cempaka, Jakarta Pusat.

"Saya heran kenapa Malaysia suka sekali mengganggu negara kita. Satu rumpun dua negara selalu saja bertikai," ujar Said Aqil kepada wartawan.

Said Aqil beranggapan bahwa, Malaysia menggunakan berbagai cara dengan membiayai pembangunan dan kesejahteraan masyarakat sekitar dan mencoba mengambil daerah Indonesia sedikit demi sedikit.

"Inilah arogansi yang ditunjukkan Malaysia. Mereka (Malaysia) merasa mampu, dengan menyejahterakan masyarakat sekitar dan mengambil daerah kita," ungkap Said.
http://www.tribunnews.com
[ Read More ]


Sengketa Indonesia Malaysia



Letak Dusun itu terpencil, tepat di ekor Pulau Kalimantan. Menuju ke sana jelas tidak mudah. Harus menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak, dan melintasi puluhan kilometer jalan pantai yang menghadap Laut Natuna -- itu pun dengan syarat air laut belum pasang agar bisa dilewati.

Namun, nama Camar Bulan, juga Tanjung Datu sontak tenar. Gara-gara Komisi I DPR RI menggelontorkan isu pencaplokan dua wilayah itu oleh negeri jiran. Isu itu kembali membuat panas sebagian masyarakat Indonesia yang terlanjur sentimen dengan kata 'Malaysia'.

Namun hiruk-pikuk soal isu caplok-mencaplok tak sampai ke Camar Bulan. Warga tetap menjalankan aktivitas sehari-hari: bekerja pergi pulang ke Malaysia. Juga belanja sembako.

"Saya melihat di sana, mereka adem ayem saja. Warga menjual hasil bumi ke Malaysia. Selain harga jual lebih mahal, juga lebih dekat jaraknya," ujar Koordinator Jaringan Radio Komunitas Kalbar, DH Gustira di Pontianak, Jumat 14 Oktober 2011.

Tak hanya perekonomian, juga akses informasi. Masyarakat perbatasan lebih mudah mendapat informasi  dari Malaysia, ketimbang negaranya sendiri: Indonesia.

Menurut Gustira, ada sebelas radio Malaysia mengudara ke daerah perbatasan, yakni di Dusun Camar Bulan, Desa Temajok, Kecamatan Paloh, dan Kabupaten Sambas.

Siaran tiga stasiun televisi Malaysia -- TV1,TV2 dan TV3 bisa ditangkap dengan mudah. "Mereka lebih tahu kondisi negeri tetangga ketimbang negara sendiri."
Tak hanya perekonomian, juga akses informasi. Masyarakat perbatasan lebih mudah mendapat informasi  dari Malaysia, ketimbang negaranya sendiri: Indonesia.

Menurut Gustira, ada sebelas radio Malaysia mengudara ke daerah perbatasan, yakni di Dusun Camar Bulan, Desa Temajok, Kecamatan Paloh, dan Kabupaten Sambas.

Siaran tiga stasiun televisi Malaysia -- TV1,TV2 dan TV3 bisa ditangkap dengan mudah. "Mereka lebih tahu kondisi negeri tetangga ketimbang negara sendiri."

Dari mana masyarakat menerima informasi dari tanah air?

Menurut Gustira, hanya mengandalkan radio komunitas yang sangat terbatas jarak frekuensinya, hanya dua setengah kilo. "Ya jelas-jelas jauh ketinggalan dong," kata dia.

Tukar Informasi

Gustira mengaku sering ke tapal batas, memberi pendampingan untuk masyarakat. "Ya tujuannya supaya mereka itu mendapat informasi dari negara sendiri," kata dia. "Dan ternyata, warga Malaysia pun suka meminta lagu-lagu Indonesia untuk diputar. Bahkan merela saling bertukar informasi.Nah ini membuktikan bahwa meski beda bangsa, warga mempunyai ikatan kekeluargaan yang luar biasa."

Menyimak panasnya isu pencaplokan wilayah, Gustira berpendapat, ini bukan kali pertamanya masalah itu mengemuka. "Namun, ketika permasalahan ini mencuat ke publik, seakan-akan lupa akan nasib warga perbatasan yang tak pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah," kata dia.

Sebelumnya, Panglima TNI, Laksamana Agus Suhartono menegaskan, pencaplokan hanya isu. "Pangdam sudah mengecek patok tak ada bergeser.  Kami tegaskan tidak ada pencaplokan," kata Agus saat rapat dengan Komisi I DPR RI, Jakarta, Jumat 14 Oktober 2011.

Sumber : Vivanews.com
[ Read More ]


Sengketa Indonesia Malaysia



Masalah perbatasan antara RI-Malaysia di Camar bulan memanas setelah Gubernur Kalbar, Cornelis, meradang begitu mengetahui patok-patok perbatasan di Camar Bulan telah “mengangkangi” wilayah RI seluas 1.499 hektare. Wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan di Kalimantan Barat ramai dibicarakan gara-gara diduga ‘dicaplok’ oleh Malaysia dari RI.  Di Camar Wulan kita hilang 1.400 Ha tanah dan di Tanjung Datu kita hilang 80.000 meter persegi pantai. Sebenarnya daerah itu masih dalam sengketa atau status quo. Jika wilayah itu masih status quo maka tidak boleh dilakukan kegiatan-kegiatan fisik yang dilakukan oleh salah satu negara.

Dua wilayah Indonesia, yakni Camar Bulan seluas 1.449 ha dan Tanjung Datu seluas 8.000 m3 di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), diberitakan diklaim Malaysia sebagai wilayah negeri itu.  Peristiwa tersebut, telah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Langkah Malaysia itu adalah hal serius yang harus segera disikapi. Karena akibatnya kita kehilangan garis pantai dan ribuan hektare wilayah laut.

Wilayah Tanjung Datu, salah satu wilayah yang masih bersengketa tapal batas dengan Indonesia-Malaysia rupanya tempat pariwisata yang menarik.Menteri Pelancongan dan Warisan Negeri, Datuk Seri Abang Johari Tun Openg mengatakan, kerajaan telah merogoh kocek sebesar 20 juta ringgit mmbangun kawasan Santubong.Tanjung Datu masuk ke dalam kawasan Santubong tersebut. Malaysia berusaha menjadikan Santubong dan Tanjung Datu sebagai salah satu unggulan pariwisata mereka.

Kerajaan negeri juga berusaha meningkatkan segala kemudahan infrastruktur dan logistik di kawasan tersebut. Ini supaya sejumlah obyek wisata seperti Telaga Air, Santubong dan Tanjung Datu bisa saling berhubungan. Kerajaan juga berupaya menggaet investor untuk membuka rute penerbangan ke daerah tersebut.

Wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat sebenarnya tak ada masalah. Selama ini kedua negara sepakat menggunakan peta Belanda Van Doorn tahun 1906. Malayasia pun tak mempermasalahkannya apabila mengacu kepada garis batas peta Belanda Van Doorn tahunn 1906 , peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malay State Survey tahun 1935. Masalah baru timbul dalam MoU antara team Border Comeete Indonesia dengan pihak Malayasia. Garis batas itu dirubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai dengan peta tua tersebut di atas.  Dan akibat kelalaian team ini, Indonesia akan kehilangan 1490 Ha di wilayah Camar Bulan, dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu.

Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, telah membantah jika ‎wilayah tersebut telah dicaplok oleh Malaysia karena masih daerah status quo. Menurutnya permasalahan tersebut akan dibahas dalam perundingan Indonesia- Malaysia akhir tahun ini.

Menurut Kementerian Pertahanan RI menyatakan  wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan merupakan salah satu Outstanding Boundary Problems (OBP) yang masih dalam proses perundingan RI-Malaysia. Tanjung Datu sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia – Malaysia Boundary Committee on The Demarcation and Survey International Boundary) antara Delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri dan Malaysia. Penduduk yang berada di OBP Tanjung Datu tersebut adalah penduduk Desa Temajuk sebanyak 493 KK dan luas lebih kurang 4.750 Km2 (jumlah penduduk kurang lebih 1.883 jiwa) terdiri dari dua Dusun yaitu Dusun Camar Wulan dan Dusun Maludin.

Perjanjian
Pangkal masalah kasus ini muncul karena Indonesia dan Malaysia menggunakan alat bukti perbatasan yang berbeda. Jika Indonesia menggunakan Traktat London, maka Malaysia memggunakan batas alur sungai. Menurut Traktat London 1824, yakni perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara, Camar Bulan masuk wilayah Indonesia. Batas negara didasarkan pada watershead. Artinya, pemisahan aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai tanda pemisah. Sedangkan sesuai MoU dalam pertemuan RI-Malaysia di Semarang 1978, disepakati batas wilayah mengalami perubahan, yakni sesuai dengan patok yang ada sekarang.  Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1978 menyepakati penentuan koordinat batas wilayah tersebut tidak menggunakan metode devide watershed.  Alasannya, Camar Bulan bertopografi landai atau datar. Jadi, penentuan koordinat dipatok dari dataran tertinggi di wilayah itu, dan kemudian ditarik lurus. Ini merupakan keputusan politik yang telah disepakati kedua negara.

Devide wathershed merupakan metode penentuan titik koordinat berdasarkan pemisah air. Metode ini jamak digunakan dalam penentuan batas wilayah daratan antara Indonesia dan Malaysia.  Penggunaan metode tersebut merujuk pada traktat 1891 antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris. Berdasarkan ketentuan itu, seluruh wilayah Camar Bulan seharusnya masuk ke wilayah Indonesia. Legalitas ini juga diperkuat dengan Traktat London pada 1824.  Namun, penggunaan metode devide watershed dianulir dalam pertemuan terakhir di Semarang.

Perubahan metode dalam penentuan batas wilayah ini merugikan Indonesia. Sebab, kawasan seluas 1.499 hektare (ha) di Camar Bulan, yang sebelumnya menjadi wilayah Indonesia akhirnya masuk bagian teritorial Malaysia.

Wilayah NKRI mempunyai dasar daerah yang dulunya negara jajahan Hindia-Belanda yang kini jadi NKRI merupakan suatu konsep yang sah untuk diakui negara lain. Selama ini Indonesia menggunakan Traktat London, sedangkan mereka menggunakan pengukuran batas yang menggunakan alur sungai yang digunakan dan diklaim batas tertentu. Tapi kita tolak karena kita menggunakan Traktat yang dibuat pada 1900 an.

Indonesia kalah
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Sumber : http://mediaanakindonesia.wordpress.com
[ Read More ]

 
Copyright © 2010. WARTA PERSADA.COM - All Rights Reserved