Sengketa Indonesia Malaysia



Masalah perbatasan antara RI-Malaysia di Camar bulan memanas setelah Gubernur Kalbar, Cornelis, meradang begitu mengetahui patok-patok perbatasan di Camar Bulan telah “mengangkangi” wilayah RI seluas 1.499 hektare. Wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan di Kalimantan Barat ramai dibicarakan gara-gara diduga ‘dicaplok’ oleh Malaysia dari RI.  Di Camar Wulan kita hilang 1.400 Ha tanah dan di Tanjung Datu kita hilang 80.000 meter persegi pantai. Sebenarnya daerah itu masih dalam sengketa atau status quo. Jika wilayah itu masih status quo maka tidak boleh dilakukan kegiatan-kegiatan fisik yang dilakukan oleh salah satu negara.

Dua wilayah Indonesia, yakni Camar Bulan seluas 1.449 ha dan Tanjung Datu seluas 8.000 m3 di Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), diberitakan diklaim Malaysia sebagai wilayah negeri itu.  Peristiwa tersebut, telah terjadi sejak beberapa bulan yang lalu. Langkah Malaysia itu adalah hal serius yang harus segera disikapi. Karena akibatnya kita kehilangan garis pantai dan ribuan hektare wilayah laut.

Wilayah Tanjung Datu, salah satu wilayah yang masih bersengketa tapal batas dengan Indonesia-Malaysia rupanya tempat pariwisata yang menarik.Menteri Pelancongan dan Warisan Negeri, Datuk Seri Abang Johari Tun Openg mengatakan, kerajaan telah merogoh kocek sebesar 20 juta ringgit mmbangun kawasan Santubong.Tanjung Datu masuk ke dalam kawasan Santubong tersebut. Malaysia berusaha menjadikan Santubong dan Tanjung Datu sebagai salah satu unggulan pariwisata mereka.

Kerajaan negeri juga berusaha meningkatkan segala kemudahan infrastruktur dan logistik di kawasan tersebut. Ini supaya sejumlah obyek wisata seperti Telaga Air, Santubong dan Tanjung Datu bisa saling berhubungan. Kerajaan juga berupaya menggaet investor untuk membuka rute penerbangan ke daerah tersebut.

Wilayah perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia di Camar Bulan dan Tanjung Datu, Kalimantan Barat sebenarnya tak ada masalah. Selama ini kedua negara sepakat menggunakan peta Belanda Van Doorn tahun 1906. Malayasia pun tak mempermasalahkannya apabila mengacu kepada garis batas peta Belanda Van Doorn tahunn 1906 , peta Sambas Borneo (N 120 E 10908/40 Greenwind) dan peta Federated Malay State Survey tahun 1935. Masalah baru timbul dalam MoU antara team Border Comeete Indonesia dengan pihak Malayasia. Garis batas itu dirubah dengan menempatkan patok-patok baru yang tak sesuai dengan peta tua tersebut di atas.  Dan akibat kelalaian team ini, Indonesia akan kehilangan 1490 Ha di wilayah Camar Bulan, dan 800 meter garis pantai di Tanjung Datu.

Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, telah membantah jika ‎wilayah tersebut telah dicaplok oleh Malaysia karena masih daerah status quo. Menurutnya permasalahan tersebut akan dibahas dalam perundingan Indonesia- Malaysia akhir tahun ini.

Menurut Kementerian Pertahanan RI menyatakan  wilayah Tanjung Datu dan Camar Wulan merupakan salah satu Outstanding Boundary Problems (OBP) yang masih dalam proses perundingan RI-Malaysia. Tanjung Datu sampai saat ini masih dalam proses perundingan di JIM (The Joint Indonesia – Malaysia Boundary Committee on The Demarcation and Survey International Boundary) antara Delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Kementerian Dalam Negeri dan Malaysia. Penduduk yang berada di OBP Tanjung Datu tersebut adalah penduduk Desa Temajuk sebanyak 493 KK dan luas lebih kurang 4.750 Km2 (jumlah penduduk kurang lebih 1.883 jiwa) terdiri dari dua Dusun yaitu Dusun Camar Wulan dan Dusun Maludin.

Perjanjian
Pangkal masalah kasus ini muncul karena Indonesia dan Malaysia menggunakan alat bukti perbatasan yang berbeda. Jika Indonesia menggunakan Traktat London, maka Malaysia memggunakan batas alur sungai. Menurut Traktat London 1824, yakni perjanjian antara Kerajaan Inggris dan Belanda terkait pembagian wilayah administrasi tanah jajahan kedua negara, Camar Bulan masuk wilayah Indonesia. Batas negara didasarkan pada watershead. Artinya, pemisahan aliran sungai atau gunung, deretan gunung, batas alam dalam bentuk punggung pegunungan sebagai tanda pemisah. Sedangkan sesuai MoU dalam pertemuan RI-Malaysia di Semarang 1978, disepakati batas wilayah mengalami perubahan, yakni sesuai dengan patok yang ada sekarang.  Pemerintah Indonesia dan Malaysia dalam pertemuan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1978 menyepakati penentuan koordinat batas wilayah tersebut tidak menggunakan metode devide watershed.  Alasannya, Camar Bulan bertopografi landai atau datar. Jadi, penentuan koordinat dipatok dari dataran tertinggi di wilayah itu, dan kemudian ditarik lurus. Ini merupakan keputusan politik yang telah disepakati kedua negara.

Devide wathershed merupakan metode penentuan titik koordinat berdasarkan pemisah air. Metode ini jamak digunakan dalam penentuan batas wilayah daratan antara Indonesia dan Malaysia.  Penggunaan metode tersebut merujuk pada traktat 1891 antara Pemerintah Kolonial Belanda dan Inggris. Berdasarkan ketentuan itu, seluruh wilayah Camar Bulan seharusnya masuk ke wilayah Indonesia. Legalitas ini juga diperkuat dengan Traktat London pada 1824.  Namun, penggunaan metode devide watershed dianulir dalam pertemuan terakhir di Semarang.

Perubahan metode dalam penentuan batas wilayah ini merugikan Indonesia. Sebab, kawasan seluas 1.499 hektare (ha) di Camar Bulan, yang sebelumnya menjadi wilayah Indonesia akhirnya masuk bagian teritorial Malaysia.

Wilayah NKRI mempunyai dasar daerah yang dulunya negara jajahan Hindia-Belanda yang kini jadi NKRI merupakan suatu konsep yang sah untuk diakui negara lain. Selama ini Indonesia menggunakan Traktat London, sedangkan mereka menggunakan pengukuran batas yang menggunakan alur sungai yang digunakan dan diklaim batas tertentu. Tapi kita tolak karena kita menggunakan Traktat yang dibuat pada 1900 an.

Indonesia kalah
Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°LU 118.6287556°BT / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.15°LU 118.883°BT / 4.15; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
Sumber : http://mediaanakindonesia.wordpress.com

Artikel Terkait

 
Copyright © 2010. WARTA PERSADA.COM - All Rights Reserved